HUBUNGAN
KESEHATAN MENTAL DAN RELIGIUSITAS
Hubungan
antara agama dan psikologi merupakan hal yang telah lama diperdebatkan. Pada
awal berdirinya psikologi sebagai ilmu otonom, agama dipandang negatif oleh
beberapa tokoh-tokoh psikologi yang terkenal. Salah satu tokoh tersebut adalah
Sigmund Freud (1933) yang menyatakan bahwa “religion is an illusion and it
derives its strength from the fact that it falls in with our instinctual
desires”. Ia juga menyatakan bahwa “religion is comparable to a
childhood neurosis”. Sedangkan Alber Ellis (1994) Percaya akan
probabilitas bahwa tuhan ada dalam bentuk yang sangat kecil sehingga tidak
layak untuk mendapatkan perhatian darinya atau orang lain.
Meskipun
mendapat pandangan negatif dari beberapa tokoh psikologi, penelitian tentang
korelasi antara agama dan kesehatan mental penganutnya terus berkembang, bahkan
mampu membentuk sub disiplin ilmu yaitu psikologi agama. Dihasilkannya bukuThe Psychological of Religion:
An Empirical Study of The Growth of Religious Counsciousness oleh Edwin Diller Starbuck pada tahun
1899 dinilai sebagai titik awal berkembangnya penelitian agama. Lalu,
tokoh-tokoh psikologi lainnya seperti William James dan James H. Leuba pun ikut
memperdalam penelitian dalam psikologi agama. Bahkan Ellis pun mengakui dan
menyetujui bukti survey yang menyatakan bahwa dengan mempercayai tuhan yang
penyayang dapat menyehatkan secara psikologis. Seiring dengan berkembangnya
psikologi agama, semakin banyak penelitian yang menghasilkan bukti-bukti
empiris yang mendukung adanya efek positif bagi kesehatan mental maupun fisik.
Karena pentingnya
peran agama dalam kehidupan penganutnya, maka sangat penting bagi kita untuk
mengkajinya secara lebih mendalam. Bahkan dalam agama itu sendiri, selalu ada
sisi pengkajian tentang psikologi. Hal tersebut menunjukkan eratnya hubungan
antara agama dan psikologi. Dengan mengkaji efek dari penerapan ajaran
agama secara mental dan fisik, diharapkan kita dapat menjadi lebih memahami
makna dari agama yang kita anut dan kita menjadi lebih bijaksana dalam
menjalankannya.
Psikologi agama
merupakan salah satu sub disiplin ilmu dari psikologi. Menurut Zakiyah Darajat,
“Psikologi
agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari
berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta
keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan tersebut.” (sebagaimana dikutip dalam Jalaludin, 2004, hal.15).
Psikologi
agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah
laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi agama dikenal
adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan
pengalaman agama (religious
experience). Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah
bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi
atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang
dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu
perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakannya.
Dalam dua dekade
terakhir, penelitian tentang efek agama mengalami berkembangan pesat. Secara
gamblang, banyak penelitian dalam bidang psikologi, psikiatri, medis, kesehatan
masyarakat, sosiologi dan epidemiologi yang membuktikan efek positif dari
keterlibatan agama dalam kesehatan fisik dan mental manusia. Penelitian tersebut
juga menunjukkan pentingnya aspek keagamaan dalam kehidupan manusia. Penelitian
itu menggunakan beberapa unsur psikologis yang terkait dengan agama, yaitu:
kepercayaan akan adanya Tuhan yang mempengaruhi kehidupan; tingkat kualitas
dalam melakukan aktivitas agama (contoh: frekuensi berdoa, penghayatan dalam
berdoa); dan tingkat komitmen dalam beragama.
Beberapa penelitian
telah dilakukan di Amerika Serikat, Denmark, Finlandia, dan Taiwan yang
bertujuan untuk melihat hubungan antara agama serta kesehatan mental dan fisik
manusia. Dari penelitian tersebut, diperoleh hasil bahwa 25-30% individu yang
aktif dalam menjalankan kegiatan agama memiliki usia lebih panjang dibandingkan
dengan yang tidak. Tingkat keaktifan beragama diukur dengan berbagai cara, antara
lain dengan mengukur tingkat kepercayaan pada agama, maupun frekuensi kunjungan
dan keikutsertaan dalam kegiatan ibadah (salat, berdoa, dan atau membaca kitab
suci). Selain itu, individu remaja atau dewas–dengan latar belakang berbagai
agama—dengan tingkat religiusitas tinggi lebih tidak menyukai minum-minuman
keras atau rokok dan hal-hal tidak baik lainnya, mereka pun lebih sering
menaati peraturan dan makan dengan pola makan yang baik sehingga berimplikasi
pada kondisi kesehatan mereka secara fisik. Diasumsikan bahwa individu dengan
tingkat religiusitas tinggi memiliki sel-regulation tinggi sehingga ia mampu
mengontrol diri untuk menjauhi hal-hal yang tidak baik tersebut yang memberi
efek buruk bagi kesehatan mereka.
Penelitian
yang dilakukan oleh Larson menunjukkan bahwa agama dan spiritualitas
mampu member efek positif pada kesehatan fisik. Beberapa efek yang telah diukur
oleh Larson yaitu: 1) menurunnya tekanan darah sistol, tekanan darah diastole,
kadar kolesterol, dan stress yang diakibatkan oleh pembedahan. 2) Menurunnya
rasio penyakit jantung, sirosis, efisema, myocardial infarction,
stroke, gagal ginjal, kematian akibat kanker, kematian dalam pembedahan
jantung, dan kematian yang diakibatkan oleh penyakit secara umum. 3)
Meningkatnya gaya hidup sehat dan usia hidup. (see Larson et al., 1998; Levin
& Vanderpool, 1992).
Selain berdampak
positif pada kesehatan fisik, agama dan religiusitas juga berpengaruh pada
kesehatan mental. Hasil penelitian selama dua decade terakhir menyimpulkan
bahwa agama memiliki kaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu dengan
konsep agama yang positif memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami
depresi. Selain itu, individu juga akan merasa bahagia dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya. Penjelasan lain juga mengungkapkan bahwa dengan
berdoa, keadaan psikologis dari seseorang akan menjadi lebih tenang, sehingga
tubuh menjadi lebih rileks. Hal itu pun berakibat pada berkurangnya tingkat
kecemasan dan selanjutnya juga member efek positif pada fisik, seperti lancarnya
proses pernafasan dan pencernaan.
Tingkat
religiusitas juga berpengaruh pada ketahanan individu untuk menghadapi kondisi
yang mungkin member pengaruh buruk bagi mental, seperti diungkapkan oleh Braam
et al. (2004) bahwa “religion may offer a frame of
reference toward questions of life, suffering and death, and may help to accept
a decrease in physical functioning in light of religious and spiritual values”
(p. 485). Secara umum, kesehatan mental dan fisik
akan saling mempengaruhi, sehingga individu yang memiliki religiusitas tinggi
akan memiliki kondisi mental dan fisik yang baik.
Namun perlu
diketahui bahwa efek dari agama dan tingkat religiusitas sangat dipengaruhi
oleh bagaimana individu menerapkan agama yang mereka anut. Jika individu
menganut suatu agama secara sangat patuh tanpa memikirkan kondisi sosialnya,
hal itu dapat bersifat psikopatologis. Hal yang sama juga berlaku jika individu
menjalankan agama secara parsial maupun semaunya.
Karena agama
memiliki efek yang sangat baik jika diterapkan secara bijak, sudah seharusnya
kita menerapkan ajaran agama kita dengan sepenuh hati. Jika dilakukan dengan
terpaksa, efek yang diakibatkannya pun akan berbeda. Selain itu, pengetahuan
tentang agama harus terus dikaji lebih dalam agar tidak terjebak dalam kesalahan
pada penerapan ajaran agama yang justru member efek negatif.
AGAMA
DAN SPIRITUALITAS DALAM REMAJA: EFEK PADA KESEHATAN MENTAL
Masa
remaja adalah "panggung" kehidupan di mana rasa identitas diri dan mulai
crystallizeand sosial / peer group merampas pengaruh dari dinamika keluarga.
Juga, sayangnya, itu adalah waktu di mana gangguan kejiwaan banyak memiliki
akar mereka dan indikasi pertama muncul gangguan-menciptakan jendela risiko
psikopatologi atau penyimpangan bersamaan dan masa depan. Oleh karena Masa
remaja adalah masa subur untuk studi agama, spiritualitas, dan kesehatan
mental, karena laporan review terbaru (Regnerus et al., 2003) dan isu-isu
peer-review jurnal (King & Boyatzis, 2004) bisa membuktikan. Menambah
komplikasi mempelajari religiusitas dan spiritualitas pada anak-anak,
penelitian empiris dengan remaja harus ditafsirkan dalam kerangka kontekstual
yang lebih besar, sebagai remaja jauh lebih rentan terhadap pengaruh teman
sebaya dan budaya daripada anak-anak.
Secara umum, keyakinan agama dan
keterlibatan telah ditemukan untuk mengerahkan efek bermanfaat pada fungsi
psikologis remaja dalam domain yang beragam seperti prestasi akademik,
kesejahteraan subjektif, harga diri, dan motivasi terhadap keterlibatan sipil,
serta dalam membina gaya hidup sehat (Batson et al, 1993;. Cochran, 1992;
Wallace & Forman, 1998). Remaja agama juga menderita sedikit depresi atau
gejala cemas, berada pada risiko yang lebih rendah untuk bunuh diri, dan sangat
menolak seks bebas atau pranikah dan perilaku nakal seperti penyalahgunaan obat
atau alkohol (Regnerus et al, 2003;. Smith & Faris, 2003; Wallace &
Williams, 1997). Dalam hal kesejahteraan psikologis, Smith dan Faris (2003)
melaporkan bahwa 12 grader yang menghadiri gereja sekali seminggu atau kepada
siapa agama sangat penting lebih mungkin dibandingkan orang yang tidak percaya
atau nonattenders untuk "memiliki sikap positif terhadap diri mereka
sendiri. . . merasa penuh harapan tentang masa depan. . . merasa seperti hidup
ini bermakna, dan menikmati berada di sekolah "(hal. 5). Alasan untuk efek
ini sering dapat mengurangi ke fungsi ganda agama dan spiritualitas sebagai
unsur utama dan pondasi pembentukan identitas dan terkait seleksi mandiri dari
kelompok sebaya yang saling memperkuat gaya hidup prososial dan sehat (lihat
Levenson & Aldwin, Bab 8, buku ini). Regnerus et al. (2003) menegaskan
fokus pada religiusitas remaja yang meliputi pengembangan dan budaya untuk
memahami proses perkembangan individu itu sendiri dan mengubah pandangan dunia,
sedangkan peletakan bahwa ontogeni dalam lebih luas, bingkai peka budaya acuan.
Diantara variabel segudang diteliti
sehubungan dengan ketahanan pada masa remaja, yang paling konsisten pelindung
tampaknya kombinasi dijelaskan sebelumnya pengabdian pribadi dan dukungan
sosial spiritual atau agama. Dukungan sosial keagamaan telah dipahami sebagai
yang unik untuk tingkat penerimaan individu, kualitas yang harus bereassuring
selama transisi dan individuasi yang menjadi ciri masa remaja (Oman & Reed,
1998). Dukungan sosial keagamaan juga mungkin berasal potensi dari pengalaman
religius interpersonal, pengalaman kolektif yang ilahi, atau hanya dari
pengolahan sadar rohani satu sama lain (Miller et al., 2002). Kedua faktor
telah terbukti jauh lebih protektif dari variabel lain, lebih sekuler.
Misalnya, rasa yang kuat pengabdian pribadi adalah 80% perlindungan terhadap
depresi di kalangan remaja beresiko tinggi dan pelindung 65% terhadap timbulnya
penggunaan narkoba berat pada masa remaja (Miller, Davies, & Greenwald,
2000), jauh melebihi besarnya 10 - 30% ditemukan untuk fungsi sosial dan gaya
kognitif (Hammen, 1992; Reivich & Gillham, 2003).
Kesehatan Mental dan Psikopatologi 467
Sumber : .
Chan
Y. dan Yeung, W. J. (2007). The positive effects of religiousness on mental
health in physically vulnerable populations: A review on recent empirical
studies and related theories. International Journal of
Psychosocial Rehabilitation. 11 (2)
Braam, A. W. et al.
(2004). Religious involvement and 6-year course of depressive symptoms in older
Dutch Citizens: Results from the longitudinal aging study Amsterdam. Journal of Aging and Health, 16(4)
Jalaluddin (1997). Psikologi agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada