Rabu, 29 April 2015

hubungan kesehaan mental dengan religiusitas

HUBUNGAN KESEHATAN MENTAL DAN RELIGIUSITAS

Hubungan antara agama dan psikologi merupakan hal yang telah lama diperdebatkan. Pada awal berdirinya psikologi sebagai ilmu otonom, agama dipandang negatif oleh beberapa tokoh-tokoh psikologi yang terkenal. Salah satu tokoh tersebut adalah Sigmund Freud (1933) yang menyatakan bahwa “religion is an illusion and it derives its strength from the fact that it falls in with our instinctual desires”. Ia juga menyatakan bahwa “religion is comparable to a childhood neurosis”. Sedangkan Alber Ellis (1994) Percaya akan probabilitas bahwa tuhan ada dalam bentuk yang sangat kecil sehingga tidak layak untuk mendapatkan perhatian darinya atau orang lain.
Meskipun mendapat pandangan negatif dari beberapa tokoh psikologi, penelitian tentang korelasi antara agama dan kesehatan mental penganutnya terus berkembang, bahkan mampu membentuk sub disiplin ilmu yaitu psikologi agama. Dihasilkannya bukuThe Psychological of Religion: An Empirical Study of The Growth of Religious Counsciousness oleh Edwin Diller Starbuck pada tahun 1899 dinilai sebagai titik awal berkembangnya penelitian agama. Lalu, tokoh-tokoh psikologi lainnya seperti William James dan James H. Leuba pun ikut memperdalam penelitian dalam psikologi agama. Bahkan Ellis pun mengakui dan menyetujui bukti survey yang menyatakan bahwa dengan mempercayai tuhan yang penyayang dapat menyehatkan secara psikologis. Seiring dengan berkembangnya psikologi agama, semakin banyak penelitian yang menghasilkan bukti-bukti empiris yang mendukung adanya efek positif bagi kesehatan mental maupun fisik.
Karena pentingnya peran agama dalam kehidupan penganutnya, maka sangat penting bagi kita untuk mengkajinya secara lebih mendalam. Bahkan dalam agama itu sendiri, selalu ada sisi pengkajian tentang psikologi. Hal tersebut menunjukkan eratnya hubungan antara agama dan  psikologi. Dengan mengkaji efek dari penerapan ajaran agama secara mental dan fisik, diharapkan kita dapat menjadi lebih memahami  makna dari agama yang kita anut dan kita menjadi lebih bijaksana dalam menjalankannya.
Psikologi agama merupakan salah satu sub disiplin ilmu dari psikologi. Menurut Zakiyah Darajat,
“Psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.” (sebagaimana dikutip dalam Jalaludin, 2004, hal.15).
Psikologi agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakannya.
Dalam dua dekade terakhir, penelitian tentang efek agama mengalami berkembangan pesat. Secara gamblang, banyak penelitian dalam bidang psikologi, psikiatri, medis, kesehatan masyarakat, sosiologi dan epidemiologi yang membuktikan efek positif dari keterlibatan agama dalam kesehatan fisik dan mental manusia. Penelitian tersebut juga menunjukkan pentingnya aspek keagamaan dalam kehidupan manusia. Penelitian itu menggunakan beberapa unsur psikologis yang terkait dengan agama, yaitu: kepercayaan akan adanya Tuhan yang mempengaruhi kehidupan; tingkat kualitas dalam melakukan aktivitas agama (contoh: frekuensi berdoa, penghayatan dalam berdoa); dan tingkat komitmen dalam beragama.
Beberapa penelitian telah dilakukan di Amerika Serikat, Denmark, Finlandia, dan Taiwan yang bertujuan untuk melihat hubungan antara agama serta kesehatan mental dan fisik manusia. Dari penelitian tersebut, diperoleh hasil bahwa 25-30% individu yang aktif dalam menjalankan kegiatan agama memiliki usia lebih panjang dibandingkan dengan yang tidak. Tingkat keaktifan beragama diukur dengan berbagai cara, antara lain dengan mengukur tingkat kepercayaan pada agama, maupun frekuensi kunjungan dan keikutsertaan dalam kegiatan ibadah (salat, berdoa, dan atau membaca kitab suci). Selain itu, individu remaja atau dewas–dengan latar belakang berbagai agama—dengan tingkat religiusitas tinggi lebih tidak menyukai minum-minuman keras atau rokok dan hal-hal tidak baik lainnya, mereka pun lebih sering menaati peraturan dan makan dengan pola makan yang baik sehingga berimplikasi pada kondisi kesehatan mereka secara fisik. Diasumsikan bahwa individu dengan tingkat religiusitas tinggi memiliki sel-regulation tinggi sehingga ia mampu mengontrol diri untuk menjauhi hal-hal yang tidak baik tersebut yang memberi efek buruk bagi kesehatan mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Larson menunjukkan bahwa  agama dan spiritualitas mampu member efek positif pada kesehatan fisik. Beberapa efek yang telah diukur oleh Larson yaitu: 1) menurunnya tekanan darah sistol, tekanan darah diastole, kadar kolesterol, dan stress yang diakibatkan oleh pembedahan. 2) Menurunnya rasio penyakit jantung, sirosis, efisema, myocardial infarction, stroke, gagal ginjal, kematian akibat kanker, kematian dalam pembedahan jantung, dan kematian yang diakibatkan oleh penyakit secara umum. 3) Meningkatnya gaya hidup sehat dan usia hidup. (see Larson et al., 1998; Levin & Vanderpool, 1992).
Selain berdampak positif pada kesehatan fisik, agama dan religiusitas juga berpengaruh pada kesehatan mental. Hasil penelitian selama dua decade terakhir menyimpulkan bahwa agama memiliki kaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu dengan konsep agama yang positif memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami depresi. Selain itu, individu juga akan merasa bahagia dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Penjelasan lain juga mengungkapkan bahwa dengan berdoa, keadaan psikologis dari seseorang akan menjadi lebih tenang, sehingga tubuh menjadi lebih rileks. Hal itu pun berakibat pada berkurangnya tingkat kecemasan dan selanjutnya juga member efek positif pada fisik, seperti lancarnya proses pernafasan dan pencernaan.
Tingkat religiusitas juga berpengaruh pada ketahanan individu untuk menghadapi kondisi yang mungkin member pengaruh buruk bagi mental, seperti diungkapkan oleh Braam et al. (2004) bahwa religion may offer a frame of reference toward questions of life, suffering and death, and may help to accept a decrease in physical functioning in light of religious and spiritual values” (p. 485). Secara umum, kesehatan mental dan fisik akan saling mempengaruhi, sehingga individu yang memiliki religiusitas tinggi akan memiliki kondisi mental dan fisik yang baik.
Namun perlu diketahui bahwa efek dari agama dan tingkat religiusitas sangat dipengaruhi oleh bagaimana individu menerapkan agama yang mereka anut. Jika individu menganut suatu agama secara sangat patuh tanpa memikirkan kondisi sosialnya, hal itu dapat bersifat psikopatologis. Hal yang sama juga berlaku jika individu menjalankan agama secara parsial maupun semaunya.
Karena agama memiliki efek yang sangat baik jika diterapkan secara bijak, sudah seharusnya kita menerapkan ajaran agama kita dengan sepenuh hati. Jika dilakukan dengan terpaksa, efek yang diakibatkannya pun akan berbeda. Selain itu, pengetahuan tentang agama harus terus dikaji lebih dalam agar tidak terjebak dalam kesalahan pada penerapan ajaran agama yang justru member efek negatif.
AGAMA DAN SPIRITUALITAS DALAM REMAJA: EFEK PADA KESEHATAN MENTAL

Masa remaja adalah "panggung" kehidupan di mana rasa identitas diri dan mulai crystallizeand sosial / peer group merampas pengaruh dari dinamika keluarga. Juga, sayangnya, itu adalah waktu di mana gangguan kejiwaan banyak memiliki akar mereka dan indikasi pertama muncul gangguan-menciptakan jendela risiko psikopatologi atau penyimpangan bersamaan dan masa depan. Oleh karena Masa remaja adalah masa subur untuk studi agama, spiritualitas, dan kesehatan mental, karena laporan review terbaru (Regnerus et al., 2003) dan isu-isu peer-review jurnal (King & Boyatzis, 2004) bisa membuktikan. Menambah komplikasi mempelajari religiusitas dan spiritualitas pada anak-anak, penelitian empiris dengan remaja harus ditafsirkan dalam kerangka kontekstual yang lebih besar, sebagai remaja jauh lebih rentan terhadap pengaruh teman sebaya dan budaya daripada anak-anak.
Secara umum, keyakinan agama dan keterlibatan telah ditemukan untuk mengerahkan efek bermanfaat pada fungsi psikologis remaja dalam domain yang beragam seperti prestasi akademik, kesejahteraan subjektif, harga diri, dan motivasi terhadap keterlibatan sipil, serta dalam membina gaya hidup sehat (Batson et al, 1993;. Cochran, 1992; Wallace & Forman, 1998). Remaja agama juga menderita sedikit depresi atau gejala cemas, berada pada risiko yang lebih rendah untuk bunuh diri, dan sangat menolak seks bebas atau pranikah dan perilaku nakal seperti penyalahgunaan obat atau alkohol (Regnerus et al, 2003;. Smith & Faris, 2003; Wallace & Williams, 1997). Dalam hal kesejahteraan psikologis, Smith dan Faris (2003) melaporkan bahwa 12 grader yang menghadiri gereja sekali seminggu atau kepada siapa agama sangat penting lebih mungkin dibandingkan orang yang tidak percaya atau nonattenders untuk "memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. . . merasa penuh harapan tentang masa depan. . . merasa seperti hidup ini bermakna, dan menikmati berada di sekolah "(hal. 5). Alasan untuk efek ini sering dapat mengurangi ke fungsi ganda agama dan spiritualitas sebagai unsur utama dan pondasi pembentukan identitas dan terkait seleksi mandiri dari kelompok sebaya yang saling memperkuat gaya hidup prososial dan sehat (lihat Levenson & Aldwin, Bab 8, buku ini). Regnerus et al. (2003) menegaskan fokus pada religiusitas remaja yang meliputi pengembangan dan budaya untuk memahami proses perkembangan individu itu sendiri dan mengubah pandangan dunia, sedangkan peletakan bahwa ontogeni dalam lebih luas, bingkai peka budaya acuan.
Diantara variabel segudang diteliti sehubungan dengan ketahanan pada masa remaja, yang paling konsisten pelindung tampaknya kombinasi dijelaskan sebelumnya pengabdian pribadi dan dukungan sosial spiritual atau agama. Dukungan sosial keagamaan telah dipahami sebagai yang unik untuk tingkat penerimaan individu, kualitas yang harus bereassuring selama transisi dan individuasi yang menjadi ciri masa remaja (Oman & Reed, 1998). Dukungan sosial keagamaan juga mungkin berasal potensi dari pengalaman religius interpersonal, pengalaman kolektif yang ilahi, atau hanya dari pengolahan sadar rohani satu sama lain (Miller et al., 2002). Kedua faktor telah terbukti jauh lebih protektif dari variabel lain, lebih sekuler. Misalnya, rasa yang kuat pengabdian pribadi adalah 80% perlindungan terhadap depresi di kalangan remaja beresiko tinggi dan pelindung 65% terhadap timbulnya penggunaan narkoba berat pada masa remaja (Miller, Davies, & Greenwald, 2000), jauh melebihi besarnya 10 - 30% ditemukan untuk fungsi sosial dan gaya kognitif (Hammen, 1992; Reivich & Gillham, 2003).
Kesehatan Mental dan Psikopatologi 467



Sumber : .
Chan Y. dan Yeung, W. J. (2007). The positive effects of religiousness on mental health in physically vulnerable populations: A review  on recent empirical studies and related theories.  International Journal of Psychosocial Rehabilitation. 11 (2)
Braam, A. W. et al. (2004). Religious involvement and 6-year course of depressive symptoms in older Dutch Citizens: Results from the longitudinal aging study Amsterdam. Journal of Aging and Health, 16(4)
Jalaluddin (1997). Psikologi agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada



Selasa, 28 April 2015

fenomena depresi

FENOMENA DEPRESI


Teori Depresi
ü  Depresi menurut Phillip L. Rice (1992: 34) sebagai gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan, dan berperilakuan) seseorang.
ü  Menurut Bandura bahwa depresi adalah disfungsi yang dapat terjadi dalam salah satu dari tiga subfungsi regulasi diri:
a.       Observasi diri, dimana orang dapat salah dalam menilai performa mereka sendiri atau mendistorsi ingatan mereka mengenai pencapaian di masa lalu.
b.      Proses penilaian, dimana orang-orang depresi lebih mungkin melakukan penilaian yang salah. Mereka menentukan standar yang tidak realistis dan sangat tinggi, sehingga pencapaian pribadi apapun akan dinilai sebagai kegagalan.
c.       Reaksi diri, point terakhir ini mengatakan bahwa reaksi diri orang-orang depresi cukup berbeda dari mereka yang tidak depresi.
ü  Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat, berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi.

  
Penyebab Depresi



Akan dijelaskan beberapa penyebab timbulnya depresi pada seseorang, yaitu:
·         Kurang berpikir positif. Ketika seseorang mengalami depresi , mereka merasa bahwa seseuatu yang buruk akan terjadi.
·         Kurang percaya diri. Orang-orang depresi tidak memiliki rasa percaya diri, mereka selalu menganggap semua yang terjadi sebagai kegagalan mereka.
·         Lebih memperhatikan kesalahan. Orang yang menderita depresi lebih memfokuskan diri pada jumlah kesalahan yang mereka buat. Hasilnya, mereka menciptakan kesan negatif mengenai kesalahan
·         Merasa tertekan karena berbagai kewajiban dalam hidup.
·         Merasa lemah. Permasalahan bagi orang yang depresi adalah mereka merasa tidak ada satu hal pun yang bisa memuaskan mereka.
·         Hilangnya harga diri pada seseorang yang mengalami depresi.



Gangguan depresi di tingkat internasional maupun nasional kini sudah menjadi suatu wabah bisu atau silent epidemics. Disebut wabah bisu karena telah semakin luas dialami banyak orang di berbagai negara namun dampak kematiannya tidak serta tampak sebagaimana misal wabah flu burung, infeksi virus SARS yang sempat menggegerkan dunia dan Indonesia beberapa tahun belakangan ini.
Saat ini diperkirakan 350 juta orang di seluruh dunia terjangkit depresi yang telah menjadi penyakit tidak menular global serius. Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental menentukan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 bulan 10, khusus untuk tahun 2012 bertemakan "Depresi: Suatu Krisis Global". Sementara itu, posisi depresi sebagai beban penyakit global yang pada tahun 1990 menduduki peringkat ke-4, pada tahun 2020 bakal menempati peringkat ke-2 di bawah penyakit jantung koroner.
Perwujudan depresi di masyarakat dapat kita lihat pada tingginya konflik di masyarakat, agresivitas di jalan raya, kekerasan dalam rumah tangga, kesurupan massal baik di sekolah, di pabrik-pabrik, meluasnya penggunaan narkoba yang merupakan upaya pelarian dari tekanan jiwa, juga maraknya kasus bunuh diri. Semua hal ini menunjukkan adanya depresi baik yang bersifat individual atau perorangan, depresi yang bersifat massal maupun depresi yang bersifat terselubung, makin serius di Indonesia. Makin banyak orang yang cepat tersinggung, mengamuk dan makin agresif atau sebaliknya, menjadi mudah menyerah dan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Orang yang mengalami gangguan emosional cepat mengambil tindakan kekerasan. Hal itu memicu gangguan kecemasan dan menjadi tanda awal depresi yang dapat menjadi keadaan patologis atau keadaan yang semakin parah jika berlanjut.
Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan di Indonesia prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas 11,6 persen. Paling tinggi di Provinsi Jawa Barat 20 persen, terendah di Kepulauan Riau 5,1 persen.
Gangguan mental emosional itu terutama adalah kecemasan dan depresi. Prevalensi depresi global berkisar 5-10 persen dan angka di Indonesia tak jauh berbeda. Prevalensi 5-10 persen itu sudah besar dan sudah bisa menjadi masalah masyarakat. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, maka mencapai 11-22 juta jiwa!
Sementara itu dalam Simposium Nasional Bunuh Diri yang diadakan di tahun 2009 diungkapkan bahwa pada tahun 2004 tercatat di Indonesia 1.030 orang melakukan percobaan bunuh diri, 705 orang di antaranya tewas. Tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan, kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia 24 kematian per 100.000 penduduk. Dengan asumsi penduduk Indonesia 220 juta jiwa, maka didapatkan angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Ironisnya, baik pemerintah maupun masyarakat justru mengabaikan dan lalai dalam menghadapi calon krisis nasional ini. Sayangnya, hingga kini belum ada program khusus bagi penanganan depresi. Program kesehatan yang dekat masyarakat, seperti puskesmas, tidak memasukkan kesehatan jiwa sebagai satu dari enam program pokoknya. Padahal, depresi sangat berpengaruh terhadap produktivitas.
Maka menjadi tugas kita sebagai gereja dan warga masyarakat untuk proaktif mengantisipasi wabah ini. Pertama, kita perlu memahami gejala-gejala depresi dan mensosialisasikan secara meluas.

Tiga gejala utama depresi :
1.     Kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai. Kalau dulu suka nonton bola ramai-ramai, maka tiba-tiba menarik diri dari kegiatan nonton bareng tersebut, bahkan sama sekali juga tak ada minat sama sekali nonton sepak bola.
2.    Kehilangan energi, meski mestinya sudah cukup tidur dan makan tapi badan terasa lelah, lemah, lunglai dan tak berdaya.
3.    Suasana perasaan murung. Hal-hal yang dulu bisa membangkitkan keceriaannya kini sama sekali tak ada pengaruh. Sepanjang hari, sepanjang waktu terasa suasana hati muram, kelabu dan sendu.
Selain tiga gejala utama ini masih bisa disertai dengan gejala-gejala lainnya seperti: kesulitan konsentrasi, masalah tidur: bangun lebih pagi (insomnia), atau tidur berlebihan (hipersomnia), perubahan pola makan, fantasi atau bayangan-bayangan melakukan bunuh diri bermunculan di pikirannya.
Dalam taraf depresi yang ringan kita bisa menangani dengan mengangkat suasana hati kita yang suram dan kelabu menjadi lebih cerah dan hidup, yaitu dengan cara :
·         Usahakan bangun pagi dan berolahragalah. Tubuh segar akan mengangkat suasana hati kita menjadi lebih cerah dan hidup.
·         Masalah-masalah yang terasa menyumbat hati dan pikiran kita, patut kita keluarkan. Datangilah orang lain, ceritakan masalah kita untuk bisa lebih terurai dan menjadikannya masalah-masalah yang lebih kecil. Teman seperjalanan akan membuat beban hidup terasa lebih ringan daripada seorang diri menempuhnya. Datang ke konselor bukan sebagai tanda kelemahan, justru tanda orang yang ingin hidup sehat.
·         Sediakan waktu untuk Firman Tuhan setiap hari dan bangun relasi intim dengan Tuhan. Pola pikir yang bersifat negatif akan mulai tergantikan dengan perkataan-perkataan positif dari Firman Tuhan. Utarakan beban masalah kita di dalam doa. Izinkan kehadiran Tuhan mengisi diri kita.

Meski tidak semua orang melakukan bunuh diri karena mengalami depresi, tetapi 80 persen penyebab bunuh diri adalah depresi. Maka kita patut mewaspadai kemungkinan tindak bunuh diri yang bisa dilakukan penderita depresi.
Berikut ini tanda-tanda yang umumnya terjadi bagi seseorang yang kemudian mengambil tindak bunuh diri:
·         Mengasingkan diri dari lingkungan sosial. Mereka biasanya mulai bersikap tertutup dan menyendiri.
·         Kebiasaan makan dan tidur yang berubah.
·         Sikap dan perilaku berubah. Misalnya dulu penurut, tiba-tiba jadi pembangkang.
·         Mulai sering terlibat dalam kegiatan yang membahayakan kehidupan seperti tidak lagi takut mati.
·         Sering menyalahkan diri sendiri dan merasa tidak berharga.
·         Sering mengungkapkan secara langsung maupun tersirat bahwa ia ingin mati saja.
·         Pernah melakukan percobaan bunuh diri. Ini merupakan tanda yang cukup serius.

Jangan tertawakan atau sepelekan ketika seseorang mengatakan menyatakan ingin mati, atau bahkan mengungkapkan ingin bunuh diri. Bahkan meski ungkapan tersebut hanya secara sambil lalu. Ini bisa jadi ungkapan hatinya yang terdalam yang harus segera mendapat respon. Kata-kata seperti, "Saya sudah tidak tahan lagi", "Mereka tidak perlu mengkhawatirkan saya", atau "Mereka akan lebih baik tanpa saya", merupakan contoh pernyataan yang umum diungkapkan oleh mereka yang akhirnya bunuh diri.
Hal yang bisa kita lakukan untuk menolong orang yang ingin bunuh diri:
• Jadi pendengar yang baik
Cobalah jadi pendengar yang baik. Dalam banyak kasus, orang yang ingin bunuh diri biasanya menarik diri dan tertutup. Cobalah mendekatinya dan sadarilah bahwa kepedihan atau keputusasaan yang sedang ia rasakan benar-benar nyata. Coba secara halus menyebutkan bahwa Anda melihat beberapa perubahan sikap dan perilakunya sehingga dapat menggerakkan dia untuk membuka diri dan mencurahkan perasaannya kepada Anda.
• Berempati
Coba dalami perasaannya, dan katakan bahwa ia sangat berarti untuk Anda maupun orang lain. Jika ia bunuh diri, hal ini akan membuat Anda hancur dan orang lain juga.
• Jauhkan benda berbahaya
Jauhkan darinya benda berbahaya apapun yang bisa menjadi alat untuk bunuh diri. Pelaku bunuh diri biasanya melihat banyak alat yang tersedia di sekitarnya membuatnya memantapkan tekad untuk bunuh diri. Misalnya tali, pisau, cutter atau bahkan senjata api.
• Minta bantuan medis
Untuk kasus yang sudah cukup ekstrem, segeralah memanggil bantuan medis untuk menangani masalahnya. Misalnya sudah terjadi gangguan mental yang serius, Anda bisa segera menggunakan bantuan medis seperti psikiater atau rumah sakit jiwa yang tahu cara terbaik menanganinya.

Referensi :
Riyanti, B.P. Dwi, & Prabowo, Hendro. (1998). Seri Diktat Kuliah: Psikologi umum 2. Jakarta: Gunadarma
Feist, Jess, & Feist, Gregory J.. (2011). Teori kepribadian: Theories of personality. Jakarta: Salemba Humanika
Rochman, Kholil Lur. (2010). Kesehatan mental. Purwokerto: Stain Press

http://www.telaga.org/audio/depresi_dan_bunuh_diri_1 

Sabtu, 28 Maret 2015

Sejarah Kesehatan mental, konsep sehat, dan perbedaan kesehatan mental timur&barat



SEJARAH SINGKAT KESEHATAN MENTAL
Penyakit gangguan mental sama usianya dengan manusia. Meskipun secara mental belum maju, nenek moyang homo spesiens mengalami gangguan-gangguan mental seperti halnya dengan homo spesies sendiri. Mereka dan keluarga mereka sangat takut dengan predator. Mereka menderita kecelakaan mental, mereka juga merusak mental orang-orang lain dalam perkelahian-pekelahian. Sejak itu manusia merasa putus asa selalu berusaha menjelaskan penyakit-penyakitmental, mengatasinya, dan memulihkan kesehtan mental. Mula-mula penjelasannya sedeharhana, ia menghubungkan kekalutan-kekalutan mental dengan gejala-gejala alam, pengaruh buruk orang lain, atau roh-roh jahat.

A.GANGGUAN MENTAL TIDAK DIANGGAP SEBAGAI SAKIT

v    (Tahun 1600 dan sebelumnya)
Dukun asli Amerika (Indian), sering juga disebut sebagai “penyembuh” (healer,shaman) orang yang mengalami gangguan mental dengan cara memanggil kekuatan supranatural dan mejalani ritual penebusan dan penyucian.
Pandangan masyarakat saat itu menganggap bahwa orang yang mengalami gangguan mental adalah karena dimasuki oleh roh-roh yang ada di sekitar. Mereka dianggap melakukan kesalahan kepada roh-roh atau menjadi medium dari roh-roh untuk menyatakan keinginannya. Oleh karena itu, mereka sering kali tidak dianggap sakit, sehingga mereka tidak disingkirkan dan dibuang seta masih mendapatkan tempat dalam masyarakat.

v    Tahun 1692
Mendapatkan pengaruh para imigran dari Eropa yang beragama Nasrani, di Amerika orang yang bergangguan mental saat itu sering dianggap terkena sihir/guna-guna atau dirasuki setan. Ini merupakan penjelasan yang diterima secara umum sehingga masyarakat takut dan membenci mereka yang dianggap memiliki kekuatan sihir. Bahkan pengadilan pernah memvonis 19 orang untuk digantung karena dianggap memiliki sihir. Padahal mereka yang dianggap memiliki kekuatan sihir kemungkinan besar mengalami gangguan mental sehingga hidup mereka tampak aneh dan berbeda bagi kebanyakan orang.

Sejarah kesehatan mental di Eropa, khususnya Inggris, agak sedikit berbeda, sebelum abad ke-17, orang gila disamakan dengan penjahat/kriminal, sehingga mereka dimasukkan ke dalam penjara.

John Locke (1690) dalam tulisannya yan berjudul An Essay Concerning Understanding,  menyatakan bahwa terdapat derajad kegilaan dalam diri setiap orang yang disebabkan oleh emosi yang memaksa orang untuk memunculkan ide-ide salah dan tidak masuk akal secara terus-menerus. Kegilaan adalah ketidakmampuan akal untuk mengeluarkan gagasan yang berhubungan dengan pengalaman secara tpat. Pandangan John Locke ini bertahan di Eropa sampai abad ke-18.

B.  GANGGUAN MENTAL DIANGGAP EBAGAI SAKIT

ü    Tahun 1724
Pendeta Cotton Mather (1663-1728) mematahkan tahkhayul yang hidup di masyarakat berkaitan dengan sakit jiwa dengan memajukan penjelasan secara fisik mengenai sakit jiwa itu sendiri. Pada saat ini benih-benih pendekatan secara medis mulai dikenalkan, yaitu dengan memberikan penjelasan masalah kejiwaan sebagai akibat gangguan yang terjadi di tubuh.
Pada abad ke-17 dan 18 individu yang menderita penyakit mental berada dalam penderitaan yang besar di tangan masyarakat Amerika. Mereka dilihat sebagai seorang yang dirasuki setan atau dicirikan sebagai dikuasai sifat-sifat kebinatangan sehingga mereka menjadi subjek penanganan yang menyedihkan. Penyiksaan fisik maupun mental merupakan hal yang umum dan penggunaan pembatas fisik yang meluas seperti jacket yang ketat dengan tangan yang berat dan kaki yang dirantai-mengeluarkan pasien dari martabat dan kebebasannya. Para pendiri  pada abad ke 19, seperti Phillip Pinel di Perancis dan Dorothea Dix, membuat lompatan besar dengan mempromosikan penanganan manusiawi bagi penderita penyakit mental, tetapi kondisinya masih jauh dari ideal. Phillipe Pinel ditunjuk sebagai dokter yang mengawasi Rumah sakit Bicetre, Paris (rumah sakit jiwa untuk pria) pada tahun 1793. Dia memutuskan uuntuk tidak meranntai pasien gila. Dia kemudian ditempatkan di Salpetriere (rumah sakit jiwa untuk wanita) pada tahun 1795.

ü    Tahun 1812
Benjamin Rush (1745-1813) menjadi salah satu pengacara mula-mula yang menangani masalah penanganan secara manusiawi untuk penyakit mental dengan publikasinya yang berjudul Medical Inquiries and Observations Upon Diseases of the Mind.  Ini merupakan buku tesk psikiatri Amerika pertama.

Antara tahun 1830-1860 di Inggris timbul optimisme dalam menangani pasien sakit jiwa (Therapeutic Optimism).  Hal ini disebabkan berkembangkannya teori dan teknik dalam menangani orang sakit jiwa di rumah sakit jiwa. Pada masa ini tumbuh kepercayaan bahwa penanganan di rumah sakit jiwa merupakan hal yang benar dan cara ilmiah untuk menyembuhkan kegilaan. Pada tahun 1842 psikiater mulai masuk dan mendapatkan peranan penting di rumah sakit, menggantikan ahli hukum yang selama ini ternyata membuahkan kegagalan, maka tidak lama kemudian muncul masa terapi psimisme (therapeutic pesimism) . ini teruma dipengaruhi oleh sosialisme. Darwin menyatakan bahwa gangguan mental adalah perkembangan evolusi sehingga merupakan bawaan dan tidak mungkin diubah lagi.




ü    Tahun 1843
Kurang lebih terdapat 24 rumah sakit, tapi hanya ada 2.561 tempat tidur yang tersedia untuk menangani penyakit mental di Amerika Serikat.

ü   Tahun 1908
Clifford Beers (1876-1943) menderita manis depresif pada tahun 1900. Dia merupakan lulusan Yale dan seorang bisnisman, yang kemudian mengalami gangguan setelah mengalami sakit dan saudara laki-lakinya meninggal. Setelah mencoba bunuh diri, Dia di masukkan ke rumah sakit mental swasta di Connecticut. Dia menjadi subjek penanganan yang tidak  manusiawi dan mengalami penyiksaan fisik dan mental di bawah kekuasaan orang  yang tidak terlatih dan tidak kompoten di rumah sakit. Beers kemudian menghabiskan beberapa tahun di berbaggai negeri Middletown, Connecticut. Penanganan tidak manusiawi yang diterimanya di institusi ini mencetuskan keberanian untuk memperbaharui perawatan bagi individu yang menderita penyakit mental di Amerika Serikat. Pada tahun 1908 dia menulis buku yang berjudul A Mind That Found Itself, merupakan laporan pengalamannya sendiri sebagai pasien sakit mental dan secara jelas menggambarkan kekejaman lembaga perawatan. Buku tersebut memberikan akibat yang segera, menyebarakan visinya mengenai gerakan kesehatan mental. Beers kemudian mendirikan Masyarakat Connecticut untuk Mental Higiene yang kemudian pada tahun berikutnya berubah menjadi Komite Nasional untuk Mental Higience (the National for Mental Hygience). Yang merupakan pendahulu Asosiasi Kesehatan Mental Nasional sekarang ini.

KONSEP SEHAT

Konsep sehat Menurut Freund (1991), berdasarkan kutipan the International Dictionary of Medicine and Biology, kesehatan adalah suatu kondisi yang dalam keadaan baik dari suatu organisme atau bagiannya, yang dicirikan oleh fungsi yang normal dan tidak adanya penyakit, juga sampai pada kesimpulan mengenai kesehatan sebagai suatu keadaan tidak adanya penyakit sebagai salah satu ciri kalau organisme disebut sehat. Memahami pengertian health, yang di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai “kesehatan”(echols & shadily, 1981) tidaklah sesederhana seperti yang di bayangkan. Sehat dan kesehatan tidak pernah dibahas secara eksplisit sehingga istilah kesehatan bahkan tidak tercantum di dalam indeks buku Joesoef, 1990.
Terdapat beberapa definisi sehat dari para ahli :
  • Kepribadian sehat adalah yang memiliki orientasi produktif (Fromm).
  • Manusia sehat adalah manusia yang mencapai kematangan (Allport).
  • Manusia sehat adalah manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya dan   mencapai kebahagiaan(Maslow).
  • Manusia sehat adalah yang mampu mengalahkan kecemasan dan kebutuhan neurotiknya (Horney).
  • Manusia sehat adalah yang memiliki efikasi diri dan regulasi diri yang tinggi (Bandura).
4 dimensi kesehatan yang mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang ataupun kelompok masyarakat:
  1. Kesehatan Fisik. Ialah tidak merasa sakit atau tidak ada keluhan dan secara klinis tidak adanya penyakit. Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak ada gangguan.
  2. Kesehatan Mental, mencakup 3 komponen, yaitu:
  3. Pikiran –> pikiran yang sehat itu tercermin dari cara berpikir dan jalan pikiran mampu berpikir logis.
  4. Emosional –> emosional yang sehat tercermin dari kemampuan mengekspresikan emosinya, misal sedih, gembira dll.
  5. Spiritual –> spiritual yang sehat tercermin dari cara mengekspresikan rasa syukur, pujian, keagungan dsb terhadap Sang Pencipta. Dapat dilihat dari praktik keagamaan atau keyakinan.
  6. Kesehatan Aspek Sosial. Ialah mampu berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama dsb.
  7. Kesehatan Asepek Ekonomi. Seseorang yang produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menjadi pemasukan finansial terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya.

PERBEDAAN KESEHATAN MENTAL TIMUR & BARAT
Terdapat perbedaan antara konsep kesehatan mental Timur dan Barat. Hal ini terelihat dari model-model aliran yang berkembang di Tiur dan Barat. Model tersebut merupakan cara merekonstruksi realita, memberikan makna kepada fenomena-fenomena alam.
Di Barat berkembang model Biomedis yang menemukan virus dan bakteri sebagai sumber penyakit, dan memandang kesehatan dan penyakit hanya dihubungan pada tubuh manusia saja. Sedangkan Psikiatris lebih mendasar pada bukti fisik dari penyakit dan treatment fisik seperti pemberian obat-obatan dan pembedahan. Sementara Psikosomatis mulai mengembangkan bahwa kesehatan penyakit tidak hanya berkaitan dengan tubuh, akan tetapi memiliki kesinambungan dan keterkaitan antara faktor fisik dan faktor mental. Dan dalam model psikosomatis, tidak ada penyakit somatik tanpa disebabkan oleh antesenden emosional dan atau sosial.
Jika dibandingkan dengan konsep kesehatan Barat, konsep kesehatan Timur lebih bertolak pada model Holistik. Holistik memiliki arti sempit yaitu melihat organisme manusia sebagai suatu sistem kehidupan yang semua komponennya saling terkait dan tergantung. Sedangkan dalam arti luasnya, organism individual berinteraksiterus-menerus dengan lingkungan fisik dan sosial yang terpengaruh oleh lingkungan tetapi juga mempengaruhi dan mengubah lingkungannya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 13-14
Dewi, K. S. (2012). Buku Ajar Kesehatan Mental. Semarang: UPT UNDIP Press
Hadjam, M. N. R.,& Widhiarso, W. (2011). Pengujian Model Peranan Kecakapan Hidup terhadap Kesehatan Mental. Jurnal Psikologi, 38(1), 61-72.
Atwater, E. (1984). Psychology of Adjustment: 2nd edt Englewood Cliff: Prentice-Hall Inc
Whitbourne, H. (2010). Psikologi Abnormal. Jakarta: Salemba Humanika