Rabu, 29 April 2015

hubungan kesehaan mental dengan religiusitas

HUBUNGAN KESEHATAN MENTAL DAN RELIGIUSITAS

Hubungan antara agama dan psikologi merupakan hal yang telah lama diperdebatkan. Pada awal berdirinya psikologi sebagai ilmu otonom, agama dipandang negatif oleh beberapa tokoh-tokoh psikologi yang terkenal. Salah satu tokoh tersebut adalah Sigmund Freud (1933) yang menyatakan bahwa “religion is an illusion and it derives its strength from the fact that it falls in with our instinctual desires”. Ia juga menyatakan bahwa “religion is comparable to a childhood neurosis”. Sedangkan Alber Ellis (1994) Percaya akan probabilitas bahwa tuhan ada dalam bentuk yang sangat kecil sehingga tidak layak untuk mendapatkan perhatian darinya atau orang lain.
Meskipun mendapat pandangan negatif dari beberapa tokoh psikologi, penelitian tentang korelasi antara agama dan kesehatan mental penganutnya terus berkembang, bahkan mampu membentuk sub disiplin ilmu yaitu psikologi agama. Dihasilkannya bukuThe Psychological of Religion: An Empirical Study of The Growth of Religious Counsciousness oleh Edwin Diller Starbuck pada tahun 1899 dinilai sebagai titik awal berkembangnya penelitian agama. Lalu, tokoh-tokoh psikologi lainnya seperti William James dan James H. Leuba pun ikut memperdalam penelitian dalam psikologi agama. Bahkan Ellis pun mengakui dan menyetujui bukti survey yang menyatakan bahwa dengan mempercayai tuhan yang penyayang dapat menyehatkan secara psikologis. Seiring dengan berkembangnya psikologi agama, semakin banyak penelitian yang menghasilkan bukti-bukti empiris yang mendukung adanya efek positif bagi kesehatan mental maupun fisik.
Karena pentingnya peran agama dalam kehidupan penganutnya, maka sangat penting bagi kita untuk mengkajinya secara lebih mendalam. Bahkan dalam agama itu sendiri, selalu ada sisi pengkajian tentang psikologi. Hal tersebut menunjukkan eratnya hubungan antara agama dan  psikologi. Dengan mengkaji efek dari penerapan ajaran agama secara mental dan fisik, diharapkan kita dapat menjadi lebih memahami  makna dari agama yang kita anut dan kita menjadi lebih bijaksana dalam menjalankannya.
Psikologi agama merupakan salah satu sub disiplin ilmu dari psikologi. Menurut Zakiyah Darajat,
“Psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.” (sebagaimana dikutip dalam Jalaludin, 2004, hal.15).
Psikologi agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakannya.
Dalam dua dekade terakhir, penelitian tentang efek agama mengalami berkembangan pesat. Secara gamblang, banyak penelitian dalam bidang psikologi, psikiatri, medis, kesehatan masyarakat, sosiologi dan epidemiologi yang membuktikan efek positif dari keterlibatan agama dalam kesehatan fisik dan mental manusia. Penelitian tersebut juga menunjukkan pentingnya aspek keagamaan dalam kehidupan manusia. Penelitian itu menggunakan beberapa unsur psikologis yang terkait dengan agama, yaitu: kepercayaan akan adanya Tuhan yang mempengaruhi kehidupan; tingkat kualitas dalam melakukan aktivitas agama (contoh: frekuensi berdoa, penghayatan dalam berdoa); dan tingkat komitmen dalam beragama.
Beberapa penelitian telah dilakukan di Amerika Serikat, Denmark, Finlandia, dan Taiwan yang bertujuan untuk melihat hubungan antara agama serta kesehatan mental dan fisik manusia. Dari penelitian tersebut, diperoleh hasil bahwa 25-30% individu yang aktif dalam menjalankan kegiatan agama memiliki usia lebih panjang dibandingkan dengan yang tidak. Tingkat keaktifan beragama diukur dengan berbagai cara, antara lain dengan mengukur tingkat kepercayaan pada agama, maupun frekuensi kunjungan dan keikutsertaan dalam kegiatan ibadah (salat, berdoa, dan atau membaca kitab suci). Selain itu, individu remaja atau dewas–dengan latar belakang berbagai agama—dengan tingkat religiusitas tinggi lebih tidak menyukai minum-minuman keras atau rokok dan hal-hal tidak baik lainnya, mereka pun lebih sering menaati peraturan dan makan dengan pola makan yang baik sehingga berimplikasi pada kondisi kesehatan mereka secara fisik. Diasumsikan bahwa individu dengan tingkat religiusitas tinggi memiliki sel-regulation tinggi sehingga ia mampu mengontrol diri untuk menjauhi hal-hal yang tidak baik tersebut yang memberi efek buruk bagi kesehatan mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Larson menunjukkan bahwa  agama dan spiritualitas mampu member efek positif pada kesehatan fisik. Beberapa efek yang telah diukur oleh Larson yaitu: 1) menurunnya tekanan darah sistol, tekanan darah diastole, kadar kolesterol, dan stress yang diakibatkan oleh pembedahan. 2) Menurunnya rasio penyakit jantung, sirosis, efisema, myocardial infarction, stroke, gagal ginjal, kematian akibat kanker, kematian dalam pembedahan jantung, dan kematian yang diakibatkan oleh penyakit secara umum. 3) Meningkatnya gaya hidup sehat dan usia hidup. (see Larson et al., 1998; Levin & Vanderpool, 1992).
Selain berdampak positif pada kesehatan fisik, agama dan religiusitas juga berpengaruh pada kesehatan mental. Hasil penelitian selama dua decade terakhir menyimpulkan bahwa agama memiliki kaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu dengan konsep agama yang positif memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami depresi. Selain itu, individu juga akan merasa bahagia dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Penjelasan lain juga mengungkapkan bahwa dengan berdoa, keadaan psikologis dari seseorang akan menjadi lebih tenang, sehingga tubuh menjadi lebih rileks. Hal itu pun berakibat pada berkurangnya tingkat kecemasan dan selanjutnya juga member efek positif pada fisik, seperti lancarnya proses pernafasan dan pencernaan.
Tingkat religiusitas juga berpengaruh pada ketahanan individu untuk menghadapi kondisi yang mungkin member pengaruh buruk bagi mental, seperti diungkapkan oleh Braam et al. (2004) bahwa religion may offer a frame of reference toward questions of life, suffering and death, and may help to accept a decrease in physical functioning in light of religious and spiritual values” (p. 485). Secara umum, kesehatan mental dan fisik akan saling mempengaruhi, sehingga individu yang memiliki religiusitas tinggi akan memiliki kondisi mental dan fisik yang baik.
Namun perlu diketahui bahwa efek dari agama dan tingkat religiusitas sangat dipengaruhi oleh bagaimana individu menerapkan agama yang mereka anut. Jika individu menganut suatu agama secara sangat patuh tanpa memikirkan kondisi sosialnya, hal itu dapat bersifat psikopatologis. Hal yang sama juga berlaku jika individu menjalankan agama secara parsial maupun semaunya.
Karena agama memiliki efek yang sangat baik jika diterapkan secara bijak, sudah seharusnya kita menerapkan ajaran agama kita dengan sepenuh hati. Jika dilakukan dengan terpaksa, efek yang diakibatkannya pun akan berbeda. Selain itu, pengetahuan tentang agama harus terus dikaji lebih dalam agar tidak terjebak dalam kesalahan pada penerapan ajaran agama yang justru member efek negatif.
AGAMA DAN SPIRITUALITAS DALAM REMAJA: EFEK PADA KESEHATAN MENTAL

Masa remaja adalah "panggung" kehidupan di mana rasa identitas diri dan mulai crystallizeand sosial / peer group merampas pengaruh dari dinamika keluarga. Juga, sayangnya, itu adalah waktu di mana gangguan kejiwaan banyak memiliki akar mereka dan indikasi pertama muncul gangguan-menciptakan jendela risiko psikopatologi atau penyimpangan bersamaan dan masa depan. Oleh karena Masa remaja adalah masa subur untuk studi agama, spiritualitas, dan kesehatan mental, karena laporan review terbaru (Regnerus et al., 2003) dan isu-isu peer-review jurnal (King & Boyatzis, 2004) bisa membuktikan. Menambah komplikasi mempelajari religiusitas dan spiritualitas pada anak-anak, penelitian empiris dengan remaja harus ditafsirkan dalam kerangka kontekstual yang lebih besar, sebagai remaja jauh lebih rentan terhadap pengaruh teman sebaya dan budaya daripada anak-anak.
Secara umum, keyakinan agama dan keterlibatan telah ditemukan untuk mengerahkan efek bermanfaat pada fungsi psikologis remaja dalam domain yang beragam seperti prestasi akademik, kesejahteraan subjektif, harga diri, dan motivasi terhadap keterlibatan sipil, serta dalam membina gaya hidup sehat (Batson et al, 1993;. Cochran, 1992; Wallace & Forman, 1998). Remaja agama juga menderita sedikit depresi atau gejala cemas, berada pada risiko yang lebih rendah untuk bunuh diri, dan sangat menolak seks bebas atau pranikah dan perilaku nakal seperti penyalahgunaan obat atau alkohol (Regnerus et al, 2003;. Smith & Faris, 2003; Wallace & Williams, 1997). Dalam hal kesejahteraan psikologis, Smith dan Faris (2003) melaporkan bahwa 12 grader yang menghadiri gereja sekali seminggu atau kepada siapa agama sangat penting lebih mungkin dibandingkan orang yang tidak percaya atau nonattenders untuk "memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. . . merasa penuh harapan tentang masa depan. . . merasa seperti hidup ini bermakna, dan menikmati berada di sekolah "(hal. 5). Alasan untuk efek ini sering dapat mengurangi ke fungsi ganda agama dan spiritualitas sebagai unsur utama dan pondasi pembentukan identitas dan terkait seleksi mandiri dari kelompok sebaya yang saling memperkuat gaya hidup prososial dan sehat (lihat Levenson & Aldwin, Bab 8, buku ini). Regnerus et al. (2003) menegaskan fokus pada religiusitas remaja yang meliputi pengembangan dan budaya untuk memahami proses perkembangan individu itu sendiri dan mengubah pandangan dunia, sedangkan peletakan bahwa ontogeni dalam lebih luas, bingkai peka budaya acuan.
Diantara variabel segudang diteliti sehubungan dengan ketahanan pada masa remaja, yang paling konsisten pelindung tampaknya kombinasi dijelaskan sebelumnya pengabdian pribadi dan dukungan sosial spiritual atau agama. Dukungan sosial keagamaan telah dipahami sebagai yang unik untuk tingkat penerimaan individu, kualitas yang harus bereassuring selama transisi dan individuasi yang menjadi ciri masa remaja (Oman & Reed, 1998). Dukungan sosial keagamaan juga mungkin berasal potensi dari pengalaman religius interpersonal, pengalaman kolektif yang ilahi, atau hanya dari pengolahan sadar rohani satu sama lain (Miller et al., 2002). Kedua faktor telah terbukti jauh lebih protektif dari variabel lain, lebih sekuler. Misalnya, rasa yang kuat pengabdian pribadi adalah 80% perlindungan terhadap depresi di kalangan remaja beresiko tinggi dan pelindung 65% terhadap timbulnya penggunaan narkoba berat pada masa remaja (Miller, Davies, & Greenwald, 2000), jauh melebihi besarnya 10 - 30% ditemukan untuk fungsi sosial dan gaya kognitif (Hammen, 1992; Reivich & Gillham, 2003).
Kesehatan Mental dan Psikopatologi 467



Sumber : .
Chan Y. dan Yeung, W. J. (2007). The positive effects of religiousness on mental health in physically vulnerable populations: A review  on recent empirical studies and related theories.  International Journal of Psychosocial Rehabilitation. 11 (2)
Braam, A. W. et al. (2004). Religious involvement and 6-year course of depressive symptoms in older Dutch Citizens: Results from the longitudinal aging study Amsterdam. Journal of Aging and Health, 16(4)
Jalaluddin (1997). Psikologi agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada



Tidak ada komentar:

Posting Komentar